1. Pengantar
a. Pengertian Genre
Kata genre secara umum dapat dipahami sebagai ragam. Genre menunjuk pada pembagian suatu bentuk seni tertentu menurut kriteria-kriteria tertentu, sesuai dengan bentuk seni yang diperlakukan dalam pembagian tersebut. Jadi, genre adalah suatu kategorisasi dari entitas seni dan budaya tertentu yang dibuat dengan batas-batas kriteria yang ditentukan sesuai keperluan pembuat kategori atau orang yang melakukan pembagian.
Kemungkinan-kemungkinan kriteria yang dapat dikembangkan oleh setiap pembuat kategori adalah (1) kualitas, (2) fungsi dan/atau relasi, (3) ruang dan waktu eksistensi, serta (4) posisi yang melekat pada bentuk seni tersebut. Oleh karena itu, sebuah genre seni tertentu dapat ditentukan berdasarkan posisi geografis, teknik, gaya, konteks, dan tema yang melekat dan eksis secara natural di dalamnya.
Teba realitas musikal dalam karawitan dilihat dari sisi (1) kualitas, (2) fungsi dan/atau relasi, (3) ruang dan waktu eksistensi, serta (4) posisi musikal yang melekat pada karawitan adalah sangat luas. Karawitan menurut Supanggah (2002: 5), “…digunakan untuk menyebut berbagai jenis musik yang memiliki sifat, karakter, konsep, cara kerja, dan atau aturan yang mirip dengan musik karawitan”. Jadi, karawitan adalah musik dengan konstruksi dan tipikalitas sarana musikal, cara, dan wujud ekspresi genuine dari budaya musik etnik di Indonesia.
Karawitan mewadahi makna deskriptif dengan domain yang sangat luas. Luasnya cakupan entitas karawitan memungkinkan karawitan diklasifikasi berdasarkan (1) kualitas, (2) fungsi dan/atau relasi, (3) ruang dan waktu eksistensi, serta (4) posisi musikal yang secara natural melekat dalam eksisten karawitan.
b. Kategorisasi dalam Karawitan
Makalah ini adalah paparan kategorisasi karawitan yang pernah saya lakukan dalam disertasi yang saya pertahankan dalam ujian tertutup pada tanggal 3 Mei 2010 yang lalu (lihat Sunarto, 2010: 77-120). Meskipun dalam membuat kategori tersebut tidak secara ekplisit saya nyatakan dasar kategorisasinya, namun pada hakikatnya kategoriasi yang saya lakukan lebih berdasarkan pada kualitas dan posisi musikal karawitan. Bukan pada fungsi dan/atau relasi maupun ruang dan waktu eksistensi entitas karawitan.
Kategorisasi yang berpijak pada ruang dan waktu eksistensi karawitan boleh jadi menghasilkan klasifikasi karawitan menurut wilayah budaya. Klasifikasi karawitan menurut wilayah budaya menunjuk gaya musikal yang ditentukan oleh dialektika musik dengan bakat, karakter, dan kecenderungan estetik yang tumbuh dan berkembang di wilayah budaya musik tertentu. Klasifikasi demikian pada hakikatnya menunjuk gaya yang ditandai dengan tipikalitas sarana musikal, cara, dan wujud ekspresi yang berlaku dan dianut para seniman dan praktisi di wilayah budaya musik tertentu, seperti; karawitan gaya Sunda, Minang, Bali, Banyumas, Yogjakarta, Surakarta, Jawa-Timuran, Madura, Cirebonan, Semarangan, Sragenan, Pesisiran, dan seterusnya.
Kategorisasi yang berpijak pada kualitas boleh jadi menghasilkan klasifikasi karawitan berdasar karakter pribadi. Klasifikasi karawitan berdasar karakter pribadi menunjuk musikalitas yang ditentukan oleh kuatnya bakat, karakter, dan kecenderungan estetik yang tumbuh dan berkembang pada pribadi seorang seniman. Klasifikasi demikian menghasilkan estetika karawitan gaya Nartosabda, Tjakrawasita, Martopangrawit, Rasito, Mang Koko, Gede Manik, dan seterusnya. Klasifikasi karawitan berdasar karakter kelompok menunjuk musikalitas yang ditentukan oleh kuatnya kecenderungan estetik yang tumbuh dan berkembang pada komunitas karawitan tertentu. Klasifikasi ini menghaslkan pemahaman entitas karawitan dengan gaya tertentu seperti misalnya karawitan gaya RRI Surakarta, RRI Ngayogjakarta, Pura Pakualaman, Pura Mangkunegaran, Karaton Surakarta, karawitan gaya ASKI Surakarta, dan seterusnya.
Kategorisasi yang berpijak pada kualitas dan posisi musical dapat diyakini menghsilkan klasifikasi karawitan berdasar genre musikal. Klasifikasi karawitan berdasar genre musikal pada hakikatnya adalah menunjuk gaya musikal atau aliran estetik dengan kecenderungan dan muatan-muatan konseptual tertentu. Klasifikasi ini menunjuk jenis musikal yang ditentukan oleh gagasan dan muatan musikal yang mewarnai bentuk wujud musikalitasnya. Gagasan itu dapat berupa gagasan medium, vokabuler, garap, dan kecenderungan pesannya.
Realitas eksistensial karawitan hadir dalam dua genre besar, yaitu (1) karawitan tradisional, dan (2) karawitan karya baru. Karawitan karya baru dapat dipilah lagi menjadi (2.a) karawitan baru tradisional, dan (2.b) karawitan kontemporer. Karawitan baru tradisional terdiri dari (2.a.1) karawitan klasik gagrag anyar, (2.a.2) karawitan populer, (2.a.3) karawitan gagrag anyar. Berikut adalah paparan mengenai genre-genre musikal karawitan, yang diurai sifat dan realitas empirisnya.
Kata tradisional mengandung pengertian, konsep, atau ide berkenaan dengan hal-hal yang terkait dengan cara, metoda, atau gaya khas warisan masa lalu yang masih hidup, tidak dapat dipisah dengan pola pikir, perilaku, tindakan dan sikap hidup sebagai kebiasaan kultural. Kata tradisional juga sering dipahami sebagai klasik, sehingga karawitan tradisional biasa dipahami pula sebagai karawitan klasik. Dua pengertian itu sering digunakan dalam konotasi dan denotasi yang sangat luas dan saling tumpang tindih.
Pengertian kasik yang juga dimaknai tradisional, di sini dipahami terkait dengan prinsip-prinsip atau standar bentuk dan kualitas yang diikuti, diapresiasi, dan dihormati secara terus-menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya di bidang seni tertentu. Prinsip atau standar bentuk dan kualitas dalam karawitan mewujud dalam sistem pengaturan karya musikal dengan ciri-ciri khusus yang ditransmisikan melalui cara-cara tradisi lisan. Umumnya, kreator atau penciptanya sering bersifat anonim. Itulah sebabnya konsepsi tradisional juga disebut klasik, karena di dalam karawitan kedua konsepsi itu tak dapat dipisahkan.
Karawitan tradisional adalah komposisi musikal yang bentuk, struktur, dan garapnya mengacu pada standar baku bentuk, struktur, dan garap dalam budaya musik karawitan konvensional. Gendhing atau komposisi karawitan tradisional adalah warisan masa lalu, tidak diketahui kapan dicipta dan siapa penciptanya. Sifat yang lain adalah lekat dengan pengrawit, dan permainannya benar-benar dikuasai oleh para pengrawit.
Karawitan tradisional ditandai dengan adanya kekayaan repertoar gendhing-gendhing yang dapat dibedakan menjadi (1) gendhing ageng dan (2) gendhing alit. Gendhing ageng adalah komposisi konvensional yang memerlukan bekal penghayatan musikal mendalam dan memadai dalam garap dan apresiasi. Struktur dan garapnya relatif rumit, dan dalam satu komposisi utuh terdiri tidak kurang dari empat bagian. Tiap bagian memiliki bentuk struktur yang saling berlainan. Gendhing alit adalah komposisi konvensional yang tidak memerlukan bekal penghayatan yang mendalam garap dan apresiasi. Struktur dan garapnya relatif sederhana, tidak rumit, mudah ditiru, sehingga mudah dipelajari, sangat mungkin dalam satu komposisi hanya terdiri dari satu bagian bentuk semata.
a. Medium
Karawitan tradisional sebagai sarana ekspresi menggunakan medium vokal atau gamelan konvensional, dan atau gabungan dari keduanya. Gamelan konvensional adalah gamelan yang wujud empirisnya merupakan warisan budaya musik masa lalu, bukan hasil rekayasa baru.
Keterlibatan vokal dalam karawitan tidak wajib ada. Vokal dalam karawitan berbeda dengan vokal dalam tradisi lagu-lagu populer dan lagu-lagu sejenisnya. Lagu-lagu ini cenderung menempatkan vokal sebagai entitas yang berposisi “utama” karena tanpa kehadirannya penyajian musik tidak lengkap dan bahkan tidak dapat dilaksanakan. Jika secara musikal tidak ada sosok orang yang dapat menyajikan bagian yang harus dihadirkan dengan suara vokal, maka bagian itu tetap harus dihadirkan dengan bunyi instrumen lain. Vokal dalam karawitan berbeda dengan lagu-lagu itu, sebab berposisi sama dengan entitas bunyi lain, yang dipresentasikan oleh berbagai instrumen garap gamelan.
Gamelan konvensional adalah ensambel musik yang terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, Kalimantan dan Lombok dalam berbagai jenis ukuran, bentuk ensemble, dan konteks pragmatik. Istilah gong di Bali, Lombok saat ini, dan di Jawa pada abad XVIII hingga pertengahan abad XIX dianggap sinonim dengan gamelan. Instrumen gamelan konvensional yang digunakan merupakan ensambel yang terbentuk dan tersusun secara sistemik, lewat pewarisan sejarah yang panjang. Haryono (2001:07-114; 2008: 138-169) menggambarkan bahwa gamelan telah disebut dalam prasasti, naskah-naskah kesastraan, dan relief-relief candi pada abad VIII-X. Haryono diantaranya menyebut prasasti Wukajana, Poh, Kuburan Candi, Kembang Arum, Gandasuli II, Kuti, dan Kwak I. Naskah-naskah kesastraan yang menyebut instrumen gamelan disebut diantaranya Bharatayuddha, Bhomakavya, Smaradahana, Nagarakrtagama, Kidung Ranggalawe, Kidung Sundha, Kidung Harsawijaya, Kidung Pamancangah, Sri Tanjung dan Cerita Panji. Relief candhi yang disebut adalah candi Kedaton, Penataran, Sukuh, Borobudur, Loro Jonggrang, Pamandaian Jalatunda, Jago, Ngrimbi, Kedaton, Tegawangi, dan Penataran.
Ferdinandus (2001) juga memaparkan adanya jejak-jejak sejarah gamelan yang tersebar dalam berbagai prasasti, naskah-naskah kesastraan kuno, dan relief-relief candhi pada abad IX-XV. Ferdinandus disamping menyebut prasasti, naskah kesastraan, dan candhi yang telah disebut Haryono juga menyebut prasasti, naskah kesastraan, dan candhi seperti Borobudur, Prambanan, Jalatunda, Jago, dan Jawi. Sayangnya, tidak pernah ada ahli sejarah yang menggambarkan proses pembentukan ensambel gamelan sehingga menjadi lengkap seperti sekarang.
Hal-hal yang dipaparkan oleh Haryono dan Ferdinandus juga pernah dibahas oleh Soetrisno (1976). Ketiganya saling menegaskan bahwa terbentuknya ensambel gamelan terjadi secara evolutif hingga mencapai puncak kesempurnaannya. Pada masa Paku Buwono X (1893-1939) di Surakarta, kesempurnaan itu semakin nyata, dan tampak pada berbagai artefak gamelan yang di buat pada masanya. Kesempurnaannya untuk berbagai konteks dan keperluan selanjutnya dikembangkan oleh para seniman kontemporer pada masa pasca kemerdekaan.
Wujud fisik gamelan di Jawa tengah sebagian besar terdiri dari instrumen-instrumen perkusif yang dapat diklasifikasi ke dalam (1) kelompok pencon, dan (2) kelompok wilahan. Kelompok wilahan ini dapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu jenis (2-a) wilahan gambang (xylophones), dan jenis (2-b) wilahan balungan (metallophones). Wilahan gambang adalah instrumen perkusi yang terbuat dan terdiri dari lembaran-lembaran kayu, sedangkan wilahan balungan adalah instrumen perkusi yang terbuat dan terdiri atas lembaran-lembaran metal. Wujud fisik yang lain adalah instrumen (3) jenis simbal yang disebut kecer, (4) jenis drums yang disebut kendhang, terdiri dari beberapa bentuk, ukuran dan karakter, dan juga (5) instrumen suling, maupun (6) instrumen jenis string atau dawai yang cara memainkannya dengan cara dipetik yaitu (6-a) siter dan celempung, serta instrumen jenis string yang cara memainkannya dengan cara digesek, yaitu (6-b) rebab.
Karawitan Jawa memiliki beberapa jenis perangkat ensambel, sekelompok instrumen yang terikat menjadi satu kesatuan sistem medium ekspresi, diantaranya adalah perangkat (1) gamelan ageng, (2) gamelan gadhon, (3) gamelan cokekan, (4) gamelan kodhok ngorek, (5) gamelan monggang, (6) gamelan corabalen, dan (7) gamelan sekaten. Supanggah (2002:32-37) telah menjelaskan wujud dan fungsi perangkat-perangkat gamelan itu kecuali perangkat gamelan gadhon dan gamelan cokekan.
Perangkat gamelan yang seluruh instrumennya berbentuk wilahan jenis gambang (xylophones) ada juga yang terbuat dari bambu. Perangkat gamelan itu umumnya berkembang di wilayah periferi kebudayaan Jawa, yaitu di wilayah propinsi budaya Banyumas. Gamelan bambu ini disebut gamelan calung. Semua instrumen meskipun terbuat dari bambu dan berbentuk gambang memiliki peran dan fungsi musikal yang bersifat imitasi terhadap instrumen-instrumen yang ada pada gamelan ageng, yang banyak didominasi instrumen jenis pencon dan wilahan.
Menurut Yasa (2000: 1), “…di Bali terdapat kurang lebih 26 jenis perangkat gamelan Bali yang memiliki garap, bentuk gendhing, warna suara, fungsi instrumen, karakter dan repertoar gendhing yang berbeda-beda”. Sukerta (2004) mencatat 31 jenis perangkat atau barungan gamelan, yang diantaranya adalah barungan angklung don nem, angklung kembang kirang, angklung kléntangan, bebatelan, bumbung gebyog, caruk, gambang, gebug endé, génggong, gong beri, gong duwé, gong gedé, gong kebyar, gong luang, gong pareret, gong suling, jegog, kendang barung, parwa, pegambuhan, pejangeran, pejogedan, geguntangan, rindik gegandrungan, saron, selonding, semar pagulingan saih lima, semar pagulingan saih pitu, semarandana, tektekan/okokan, dan trompong beruk. Sebagian besar gamelan di Bali seperti halnya di Jawa berisi instrumen-instrumen perkusif yang terdiri atas kelompok instrumen berbentuk pencon dan berbentuk wilahan. Ada beberapa instrumen pelengkap sebagaimana di Jawa, diantaranya (1) instrumen simbal atau kecer yang di Bali disebut ceng-ceng, (2) instrumen kendhang yang biasanya terdiri dari dua buah berpasang-pasangan, disebut kendhang lanang dan kendhang wadon, (3) instrumen suling yang memiliki ragam bentuk dan ukuran, dan (4) rebab. Instrumen sejenis siter dan celempung sementara itu tidak ditemukan dalam perangkat gamelan pada karawitan Bali. Akhir-akhir ini di Bali lahir genre musik baru yang disebut Genjek. Musik ini adalah sub genre musik Cakepung yang didapati menggunakan alat musik berbentuk string yang dipetik, sejenis kecapi atau siter.
Di Jawa ada perangkat gamelan yang seluruh instrumennya berbentuk wilahan jenis gambang (xylophones) yang terbuat dari bambu dan disebut gamelan calung. Hal serupa juga terjadi di Bali, sebab di sana juga ada perangkat-perangkat gamelan yang seluruh bahannya terbuat dari bambu, seperti (1) gamelan jegog, (2) gamelan joget bumbung, (3) gamelan rindik, (4) gamelan gambang, dan (5) gamelan gandrung. Instrumen-instrumen yang terbuat dari bambu itu secara musikal umumnya memiliki bentuk, peran, fungsi, dan hubungan inter dan antar instrumen bersifat imitasi atas instrumen-instrumen gamelan-gamelan ageng versi karawitan Bali, seperti (1) gamelan gong kebyar dan (2) gamelan semar pagulingan.
Bermacam jenis gamelan dalam karawitan Sunda, budaya musik yang ada di propinsi Jawa Barat, juga ditemukan. Eksistensi gamelan dalam budaya musik Sunda dapat dilihat pada ragam kesenian seperti (1) ketuk tilu, (2) jaipongan, (3) degung, (4) bajidoran, dan kesenian lain. Rasita Satriana menjelaskan bahwa di Sunda terdapat beberapa perangkat gamelan, diantaranya adalah (1) gamelan renteng, (2) gamelan ajeng, (3) gamelan saléndro-pélog yang di Cirebon disebut gamelan prawa-prada, (4) gamelan degung, (5) ensambel kacapi, (6) ensambel tarawangsa, (7) ensambel calung, (8) ensambel angklung, dan (9) gamelan kendhang pencak. Gamelan baru akhir-akhir ini lahir di Sunda dengan modifikasi sistem laras yang disebut gamelan selap (Sopandi, 2006). Natapradja (2003: 97-129) membagi gamelan dalam karawitan Sunda menjadi dua kategori yaitu (1) gamelan utama, dan (2) gamelan madya. Gamelan utama meliputi gamelan renteng, gamelan degung, gamelan pamirig kethuk tilu, dan gamelan saléndro-pélog. Gamelan madya terdiri dari gamelan ajeng, gamelan lilingong, gamelan munggang, gamelan cokek, gamelan gambang kromong, gamelan kemodong.
Wujud fisik dari sekian banyak jenis gamelan di Sunda juga tidak jauh berbeda dengan gamelan pada karawitan Jawa dan Bali, sebab, sebagian besar instrumennya adalah instrumen-instrumen perkusif yang terdiri atas kelompok instrumen berbentuk pencon dan berbentuk wilahan. Dua jenis instrumen pencon dan wilahan itu ditambah instrumen jenis lain seperti kendhang, bermacam jenis suling, dan instrumen jenis string yang cara memainkannya ada yang dipetik disebut kacapi, dan yang cara memainkannya digesek, yaitu rebab. Instrumen yang terbuat dari bambu di Jawa tengah seperti telah dijelaskan di atas disebut gamelan calung. Instrumen yang terbuat dari bambu, di Sunda pun disebut gamelan calung dan angklung. Keduanya, antara calung di Sunda dan di Jawa memiliki perbedaan mendasar pada struktur organologisnya.
Kekhasan yang paling hakiki dari musik karawiran terletak pada konstruksi musikalnya. Konstruksi musikal itu dalam karawitan ditentukan oleh unsur-unsur (1) penggunaan nada-nada, (2) penggunaan sistem laras, (3) tata-kelola waktu musikal, (4) penggunaan sistem harmoni, (5) vokabuler, dan (6) tata-kelola hubungan vokabuler dan unsur lainnya.
Nada-nada yang digunakan tidak ditentukan tinggi rendahnya berdasarkan perhitungan matematis dengan frekwensi yang terukur secara akurat. Nada sebagaimana umum diketahui adalah bunyi atau suara yang telah memiliki pitch yang pasti. Pitch adalah derajat ketinggian atau kerendahan nada-nada dalam musik yang ditentukan oleh kecepatan getaran-getaran yang memproduksi suara itu, sehingga salah satu karakter dari nada adalah terkontrolnya pitch dan warna suara atau timbre. Control pitch dalam karawitan tidak menggunakan perhitungan getaran secara matematis sehingga keseluruhan sistem nada yang digunakan dapat diproduksi dengan pertimbangan kuantitatif atas getaran yang memproduksi nada.
Sistem laras atau sistem tangga nada yang digunakan adalah sistem sléndro dan pélog. Penentuan nada yang tidak mengutamakan akurasi frekwensi pada tiap-tiap nada dalam suatu sistem laras berpengaruh pada karakter tiap-tiap bunyi instrumen. Gabungan tipikalitas bunyi-bunyi instrumen itu secara alamiah menimbulkan vibrasi bunyi unik dan khas, yang disebut embat.
Tata-kelola waktu musikalnya ditentukan oleh konsepsi gatra yang selalu berkembang menuju konsep irama. Gatra adalah konsep dasar komposisi karawitan berupa pulsasi atau ketukan berjumlah empat ketuk sebagai satuan atau unit terkecil dari komposisi karawitan. Tiap ketuk memiliki posisi, fungsi dan peran masing-masing sesuai dengan hierarkhi irama dalam karawitan (Supanggah, 1994: 13-26; 2000; 2007: 63-106; 2009: 77-129). Pengertian gatra secara konotatif memiliki kesamaan dengan konsep birama dalam tradisi musik Barat. Birama adalah tekanan yang tetap dan teratur dan selalu berulang-ulang. Pada sebuah birama telah terdapat bagian yang bertekanan dan yang tidak bertekanan (Widodo, 1997: 21). Jadi, birama terkait dengan tekanan bunyi berat dan bunyi ringan yang berulang-ulang. Namun harus diakui bahwa secara denotatif pengertian gatra dan birama mengandung konsepsi hakiki yang sangat berbeda.
Sistem harmoni dalam karawitan tidak mengenal kombinasi nada-nada yang dibunyikan secara silmultan yang dirumuskan dengan perhitungan frekwensi secara rigid, sehingga ada rumusan-rumusan perpaduan nada berdasarkan pertemuan frekwensi tertentu yang masing-masing tidak mudah dipindah ke posisi atau bentuk susunan yang berbeda. Jadi dalam karawitan tidak mengutamakan adanya sistem akord, tetapi menekankan perhatian artistiknya pada sistem melodi. Vokabuler yang dihasilkan dan digunakan adalah konsekuensi logis dari penggunaan medium dan unsur-unsur pembentuk konstruksi musikal. Wujudnya berupa idiom-idiom musikal atau gaya artistik yang khas. Gaya artistik yang khas atau idiom-idiom musikal itu secara aplikatif tidak ditemukan di dalam musik lain, seperti adanya konsep pathet, garap, balungan, céngkok, wiled, luk, gregel, seleh dan sekaran. Tata kelola hubungan antara vokabuler dan unsur-unsur musik yang digunakan telah teratur menjadi konvensi bentuk musikal yang termanifestasi ke dalam struktur-struktur yang membedakan komposisi satu dengan komposisi lainnya.
Realitas pragmatik karawitan tradisional tampak pada konteks yang menentukan eksistensinya, terutama berkenaan dengan penggunaannya dalam fungsi-fungsi tertentu, baik dalam konteks ekspresi seni maupun dalam konteks eksistensi kebudayaan. Realitas pragmatik yang melingkupi karawitan tradisional adalah konteks-konteks membudaya yang menjadi berbagai macam tradisi. Konteks-konteks itu dapat dibedakan menjadi (1) konteks yang bersifat internal, dan (2) konteks yang bersifat eksternal.
Konteks yang bersifat internal terkait langsung dengan bentuk formal ekspresi musikal. Bentuk formal ekspresi musikal itu terutama berkenaan dengan bagaimana ekspresi musikal diproduksi, dan bagaimana ekspresi musikal dinyatakan sehingga dapat mengutarakan “makna”. Jadi, realitas pragmatik dalam konteks internal adalah suatu produksi ungkapan musikal sebagai manifestasi interaksional antar musisi atau pengrawit di dalam menyatakan ekspresi musikal. Realitas pragmatik dalam konteks ini mencakup pengembangan, pengelolaan, dan pemanfaatan implikatur musikal dan referensi musikal. Implikatur musikal adalah ekspresi musikal yang menyiratkan sesuatu yang diungkapkan oleh musik. Sedangkan referensi musikal adalah substansi yang memiliki hubungan dengan wujud musikal, yaitu sesuatu yang dirujuk oleh wujud musikal. Supanggah (2007: 199-247; 2009: 241-299) meski tidak secara eksplisit menyebutnya sebagai realitas pragmatik, ia menyebut realitas pragmatik dalam konteks internal sebagai “perabot garap” yang di dalamnya meliputi persoalan teknik, pola garap, pola irama dan laya, laras, pathet, konvensi, dan dinamik. Oleh karena itu, implikatur dan referensi musikal dalam karawitan tradisional pada hakikatnya adalah teknik, pola garap, pola irama dan laya, laras, pathet, konvensi, dan dinamik yang oleh Supanggah disebut perabot garap.
Konteks eksternal karawitan tradisional adalah penggunaan ekspresi musikal sebagai sarana untuk menyajikan “makna” dalam rangka kepentingan-kepentingan yang luas. Kepentingan itu diantaranya adalah untuk (1) keperluan karawitan sendiri, dan (2) untuk keperluan selain karawitan. Keperluan yang disebut terakhir itu meliputi keperluan untuk (2-a) penghormatan peristiwa, orang penting, atau suasana, (2-b) menyatakan ekspresi kedalaman spiritualitas dan religiositas tertentu, dan untuk (2-c) membantu menegaskan bangunan estetika genre seni lain.
Supanggah (2007: 135; 2009: 164) dalam rangka membuat pengelompokan ragam gendhing telah menyebut realitas pragmatik dalam konteks eksternal, yaitu dalam bentuk klasifikasi jenis-jenis gendhing, terutama adalah gendhing-gendhing yang ada dalam budaya musik Jawa Tengah. Gendhing-gendhing untuk keperluan konsert misalnya, ia sebut gendhing klenengan dan gendhing dolanan. Setara dengan realitas pragmatik dalam budaya musik di Jawa Tengah, di dalam budaya musik Bali gendhing klenengan disebut sebagai gendhing petegak dan di Sunda disebut gendhing kliningan. Gendhing dolanan di Bali disebut gendhing rare, dan di Sunda disebut sekar balareang atau kaulinan urang lembur.
Supanggah (2007: 107; 2009: 129) menyebut gendhing pakurmatan untuk gendhing-gendhing yang digunakan dalam keperluan penghormatan peristiwa, orang penting, atau suasana. Musik penghormatan dalam budaya musik Bali ternyata memiliki setting kultural dan keagamaan yang tidak sederhana. Pilihan suatu gendhing atau perangkat gamelan yang digunakan dalam penghormatan selalu terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam upacara atau yatnya. Yasa (1991: 1-4) menjelaskan ada lima yatnya yaitu (1) dewa yatnya (upacara-upacara yang diperuntukkan bagi dewa), (2) rsi yatnya (upacara-upacara sebagai sarana pengukuhan tugas keagamaan bagi para pemangku, wasi, dan pendeta), (3) manusa yatnya (upacara-upacara yang menandai tahap dan peristiwa penting bagi kehidupan seorang manusia), (4) pitra yatnya (upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian), dan (5) bhuta yatnya (upacara-upacara yang diadakan sebagai manifestasi keyakinan bahwa di lingkungan hidup ini ada “kekuatan, daya, dan makhluk lain” yang harus diperhitungkan).
Gendhing-gendhing dan atau perangkat gamelan gong gedhé digunakan untuk setiap upacara dewa yatnya seperti odalan (hari ulang tahun pura), ngenteg linggih atau mamungkah (membuat pura baru), nyepi, saraswati, pagerwesi, galungan, pemcekan, kuningan dan lain-lain. Gendhing-gendhing gamelan gong gedhé digunakan untuk upacara rsi yatnya, yaitu upacara untuk penghormatan kepada para pendeta. Gendhing-gendhing yang diwadahi dalam medium ekspresi gender wayang digunakan untuk upacara manusa yatnya. Upacara ini terbagi dalam upacara kelahiran, wetonan, potong gigi, pernikahan dan lain-lain. Gendhing-gendhing angklung digunakan untuk upacara pitra yatnya, yang terdiri dari upacara (1) telung dinoan, (2) bulan pitung dinoan (42 hari), (3) ngaben, dan (4) mukur. Gendhing dan atau gamelan kalaganjur digunakan untuk upacara bhuta yatnya, yaitu jenis upacara seperti upacara bersih desa, dan lain-lain. Gamelan kalaganjur dalam konteks yang lebih luas, sebagai satu ensambel tersendiri juga digunakan untuk berbagai macam prosesi dalam setiap upacara yatnya.
Gendhing pakurmatan dalam karawitan Bali berbeda dengan di Jawa Tengah, karena merupakan kelengkapan dalam kesempurnaan upacara yatnya yang harus dilengkapi dengan berbagai macam sesajian. Sebab, setiap pelaksanaan yatnya harus memenuhi panca gita, yaitu adanya (1) mantram, (2) bajra (gentha), (3) kidung, (4) kulkul, (5) tabuh-tabuhan. Karawitan adalah manifestasi konsep tabuh-tabuhan, bagian dari panca gita yang diperlukan dalam upacara yatnya.
Di Sunda, tidak pernah ada gamelan dan repertoar yang secara khusus diperuntukkan bagi penghormatan peristiwa, orang penting, atau suasana sebagaimana adanya gendhing pakurmatan di Jawa Tengah dan di Bali. Satu-satunya repertoar yang memiliki kemiripan struktur musikal dan fungsi eksternal sebagaimana adanya gendhing Pakurmatan di Jawa Tengah adalah gendhing Beboyongan. Gendhing ini dilihat dari sisi bentuk dan strukturnya mirip dengan gendhing Monggang pada karawitan Jawa Tengah, dan digunakan untuk mengiringi jalannya penganten. Selebihnya, tidak ditemukan bentuk-bentuk gendhing yang secara pragmatik digunakan untuk keperluan pakurmatan. Ensambel gamelan degung, ajeng, dan kromong memang sering digunakan untuk berbagai keperluan penghormatan, namun bukan berarti gamelan degung, ajeng, dan kromong berikut gendhing-gendhing-nya adalah gamelan atau gendhing yang khusus untuk pakurmatan.
Supanggah (2007: 133; 2009: 161) menyebut adanya gendhing gereja dan gendhing santiswaran untuk menyatakan ekspresi kedalaman spiritualitas dan religiositas tertentu. Poplawska (2007: 124-152) mencatat adanya gendhing-gendhing yang sengaja dicipta para kreatornya untuk menegaskan spiritualitas dan religiositas kristiani yang dianut para kreatornya. Berdasarkan wawancara dengan para kreatornya, Poplawska menyebut gendhing-gendhing itu sebagai langen sekar. Untuk menjernihkan pengertian, yang dipaparkan Poplawska perlu dikoreksi bahwa makna langen sekar adalah tetembangan atau gendhing-gendhing yang dicipta dengan orientasi untuk mengutamakan aspek tembang sebagai sarana ungkap dalam rangka menyatakan ekspresi verbal secara musikal. Jadi, istilah langen sekar dalam karawitan masih merupakan istilah yang sangat umum, belum memiliki konotasi tertentu, apalagi terkait dengan spiritualitas dan religiositas tertentu. Sebagai contoh adalah panembromo dan gendhing-gendhing karya R.C.Hardjosubroto, yang dalam karawitan juga disebut gendhing langen sekar dan kenyataannya gendhing-gendhing itu tidak memiliki kaitan tegas dengan spiritualitas dan religiositas kristiani. Komunitas kristiani di Surakarta telah menyebut gendhing-gendhing karya mereka sebagai langen sekar pamuji untuk langen sekar yang dimaksudkan Poplawska. Akhir-akhir ini juga muncul satu genre musik baru dengan basis karawitan sebagai elemen dasarnya, yaitu sholawat campurngaji (Sunarto, 2006: 75-228).
Semua bentuk ekspresi musikal karawitan yang digunakan masyarakat Bali untuk upacara-upacara yatnya, selalu memiliki dimensi tertentu yang terkait dengan “makna” kedalaman spiritualitas dan religiositas. Instrumen tarawangsa dan goong renteng di Sunda memiliki peran besar dalam berbagai upacara adat yang menggambarkan kedalaman spiritualitas dan religiositas masyarakat Sunda pedesaan, terutama adalah spiritualitas dan religiositas “lama” terkait dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat yang masih kental dengan animisme, dinamisme dan hinduisme. Sasaki (2007: 113-230) menerangkan bahwa ekspresi musikal yang disajikan dengan instrumen tarawangsa dan goong renteng tidak pernah lepas dengan berbagai macam upacara ritual, seperti upacara pemujaan terhadap dewi pohaci, dewi sri dan karuhun atau roh-roh leluhur. Di dalam spiritualitas Islam di pesisir pantai utara Jawa Tengah ditemukan musik-musik rebana atau musik sholawat dengan karakter vokal yang menggunakan konstruksi musikal karawitan.
Komposisi musikal karawitan yang berfungsi untuk membantu menegaskan bangunan estetika genre seni lain, di Jawa Tengah dapat disebut beberapa jenis gendhing yaitu (1) gendhing wayangan, (2) gendhing kethoprak, (3) gendhing tayub, (4) gendhing langendriyan, dan (5) gendhing beksan (Supanggah, 2007: 110-133; 2009: 133-161). Hal serupa juga dapat ditemukan di dalam budaya musik Sunda, karena di sana juga ada gendhing-gendhing sejak tari, sejak wayang dan seterusnya. Hal demikian juga dapat ditemukan dalam budaya musik Bali, yang membagi peran fungsional komposisi musikalnya dalam jenis gendhing-gendhing petegak atau gendhing-gendhing konsert dan gendhing-gendhing khusus yang digunakan untuk tari dan wayang. Pembagian dengan cara demikian itu terbukti dengan adanya barungan (ensambel) khusus untuk dramatari arja yaitu gamelan pengarjaan atau gamelan geguntangan, untuk tari legong yaitu gamelan palégongan, dan gamelan pegambuhan yang biasanya khusus digunakan untuk menyertai penyajian tari gambuh.
Wujud karawitan karya baru adalah komposisi musik baru dengan bentuk, struktur, dan garap yang boleh jadi merupakan rekonstruksi dan reinterpretasi dari bentuk, struktur, dan garap karawitan yang telah ada. Namun, karawitan karya baru sangat dimungkinkan merupakan komposisi baru yang dicipta dengan mengacu pada bentuk, struktur, dan garap karawitan tradisional dengan modifikasi dan atau dekonstruksi terhadap konsepsi musikal karawitan tradisional yang telah ada maupun yang dicipta dari berbagai eksisten yang mengacu pada kecenderungan estetik penciptanya yang benar-benar baru.
Karawitan karya baru yang dimanifestasikan dari bentuk, struktur, dan garap melalui upaya rekonstruksi, reinterpretasi, dan modifikasi dari bentuk, struktur, dan garap karawitan yang telah ada disebut karawitan (1) karya baru bercorak tradisional. Karawitan karya baru yang dimanifestasikan dari bentuk, struktur, dan garap karawitan tradisional yang didekonstruksi dan atau dimanifestasikan dari berbagai eksisten yang mengacu pada kecenderungan estetik penciptanya yang benar-benar baru disebut (2) karawitan kontemporer bercorak avant garde.
Karawitan karya baru bukan merupakan karya warisan masa lalu yang tidak diketahui kapan dicipta dan siapa penciptanya, melainkan karya yang secara tegas diketahui masa penciptaannya dan siapa penciptanya. Masa penciptaan dapat diutarakan secara tegas, yaitu masa kontemporer, sejaman dengan masa hidup orang-orang yang mengkajinya.
Karawitan karya baru pada hakikatnya tidak selalu secara diametral berseberangan dengan karawitan tradisional. Hal ini tampak pada wujud artistik dari karya baru yang bercorak tradisional. Satu-satunya hal yang membedakan antara karawitan tradisional dengan karawitan karya baru yang bercorak tradisional adalah kapan dan siapa penciptanya. Karawitan tradisional dipahami sebagai karya-karya lama yang dicipta pada masa lebih dari satu atau dua abad yang lalu dengan kreator atau pencipta yang sering bersifat anonim. Karawitan karya baru bercorak tradisional adalah karya yang di cipta di masa kini, masa kontemporer, dengan kreator atau pencipta cukup jelas dan dikenal luas. Kapan dan siapa pelaku penciptaan karya baru bercorak tradisional sedemikian jelas, sehingga wujud karyanya dapat digunakan menjadi penanda kontekstual yang berhubungan dengan bobot, kecenderungan estetik, pola pikir, dan orientasi nilai yang dianut dan diyakini penciptanya. Wujud karya karawitan tradisional sementara itu lebih merupakan penanda hubungan kecenderungan estetik, pola pikir dan orientasi nilai kultural yang dianut oleh masyarakat pemeluk atau peminatnya.
Kecenderungan rancang bangun estetik yang eksis selalu didasarkan pada perumusan balungan gendhing. Menurut Sumarsam (2002: 41) balungan gendhing adalah abstraksi kedalaman lagu dalam karawitan yang dirasakan pengrawit. Balungan gendhing adalah susunan melodik yang bersifat abstrak, ide mentah, dan belum sepenuhnya musikal. Hubungan interpretasi improvisatoris kinerja artistik seniman karawitan dalam menggarap balungan gendhing menjadi kesadaran penuh para komposer dalam mencipta karya jenis ini, sehingga penciptaannya cukup dilakukan dengan membuat deskripsi balungan gendhing saja. Penciptaan demikian dilakukan komposer karena mereka sadar bahwa pengrawit dapat menghayati dan memahami hakekatnya dan dapat melakukan tindakan artistik, berekspresi secara musikal. Komposer sangat sadar bahwa balungan gendhing telah mampu menstimulir pengrawit untuk melakukan tindakan artistik dengan cara menginterpretasi terhadap balungan gendhing. Interpretasi dilakukan dengan mengidentifikasi kontur melodi, seleh balungan gendhing, menerapkan céngkok-céngkok, pola-pola lagu atau susunan melodik hasil perpaduan susunan melodik dan vokabuler garap. Seperti dijelaskan di atas, karawitan karya baru bercorak tradisional, meliputi (1) karawitan klasik gagrag anyar, (2) karawitan populer, dan (3) karawitan gagrag anyar.
Sumber dasar karawitan karya baru bercorak tradisional adalah konvensi garap pembentuk gendhing tradisional. Unsur-unsur konvensi garap pernah dielaborasi oleh Supanggah (2005: 1-25), di dalamnya meliputi (1) bahan garap, (2) perabot garap, (3) sarana garap, (4) pertimbangan garap, dan (5) penunjang garap. Sumber dasar yang menjadi acuan karawitan karya baru meski sedikit berbeda penjelasannya adalah beberapa hal yang oleh Supanggah disebut (1) bahan garap, dan (2) perabot garap.
Bahan garap adalah materi dasar untuk digarap menjadi ekspresi musik. Materi dasar untuk mencipta komposisi karawitan dengan corak tradisional adalah balungan gendhing dan atau tembang. Balungan gendhing terbentuk oleh beberapa aspek dasar yang bersifat konseptual, yaitu konsep sabetan balungan, keteg, gatra, susunan balungan, arah nada, kontur, seleh, dan seterusnya (Supanggah, 2005: 9). Tembang dari beragam bentuk sering menstimulir seniman pencipta untuk mengacunya. Pola-pola ritmik, pola melodik, dan pola-pola dinamik yang banyak sekali ragamnya pada tembang sangat dimungkinkan dapat menjadi sumber bagi penciptaan karawitan baru bercorak tradisional.
Perabot garap adalah penggunaan instrumentasi terkait dengan fungsi, kedudukan, dan peran instrumen berdasar organisasi musikal. Supanggah (1983: 2) sebagaimana disebutkan di atas membagi instrumen karawitan dalam kategori instrumen struktural, balungan, dan garap. Instrumen struktural adalah instrumen yang membangun konstruk gendhing menggunakan struktur gendhing. Kejelasan struktur gendhing dalam karawitan tradisional ditentukan oleh penempatan instrumen-instrumen struktural terkait dengan konstelasi tata kalimat musikal. Instrumen balungan adalah instrumen-instrumen yang tugasnya memberi penegasan konstruksi kerangka musikal suatu gendhing. Instrumen garap adalah instrumen-instrumen yang memiliki tugas untuk melakukan interpretasi terhadap kerangka musikal dengan menggunakan berbagai vokabuler ekspresi musikal atau vokabuler garap gendhing. Sumber penting dalam penciptaan karya karawitan baru bercorak tradisional adalah konvensi regulasi yang berkenaan dengan peran, kedudukan, dan fungsi instrumen.
(1). Karawitan Klasik Gagrag Anyar
Manifestasi karawitan klasik gagrag anyar dapat dilihat dari sifat komposisi musikal atau gendhing-gendhing sebagai repertoarnya. Sifat yang selalu melekat adalah penggunaan seluruh elemen garap yang sepenuhnya bersifat konvensional. Dalam hal garap, interpretasi improvisatoris yang dilakukan pengrawit terhadap susunan balungan gendhing dengan bekal céngkok-céngkok, pola-pola lagu atau susunan melodi dan berbagai macam vokabuler garap menjadi karakter kuat yang mewarnai karawitan jenis ini (Sunarto, 2006: 120).
Karawitan klasik gagrag anyar adalah karya baru yang rancang bangun estetiknya didasarkan tidak pada perumusan balungan gendhing yang konvensional semata. Rancang bangun estetik karawitan klasik gagrag anyar sangat mempertimbangkan berbagai elemen konvesional karawitan tradisional. Tata kelola dan permainan instrumen kolotomik atau instrumen struktural seperti instrumen kethuk, kempyang, kenong, kempul, gong, dan kendhang sepenuhnya mengikuti tradisi tata kelola musikal seperti dalam karawitan tradisional. Demikian pula dalam hal pengelolaan gradasi irama dan tempo yang digunakan juga sepenuhnya menggunakan model karawitan tradisional sebagai acuan proses penciptaannya.
Sifat karawitan klasik gagrag anyar sebagai bagian karawitan karya baru bercorak tradisional adalah kontinum dari spirit budaya musik tradisional sekaligus wujud resistensi kultural. Sifat ini merupakan kontinum tahap pertama dari perkembangan karawitan tradisional. Karawitan jenis ini tumbuh dalam suatu proses budaya yang selalu mempertimbangkan bentuk konvensi, transformasi dan inovasi. Pertimbangan itu merupakan metode untuk mempertahankan spiritualitas budaya musik tradisional dari gempuran budaya musik asing yang cenderung mengeliminir karya-karya lama bercorak tradisional. Karawitan seperti ini dibuat juga untuk menunjukkan betapa kuatnya eksistensi budaya musik karawitan yang telah dirintis para empu terdahulu selama berabad-abad, yang tidak begitu saja mati ditelan jaman. Karya-karya karawitan baru yang bercorak tradisional juga memiliki kandungan artistik manifestasi transformasi budaya yang memang selalu terjadi di berbagai tempat dan kesempatan. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi beserta spirit budaya musik tradisional tidak mudah terbunuh oleh hadirnya laju realitas artistik yang kehadirannya sedemikian rupa menggejala bersamaan dengan lajunya perkembangan jaman.
Dimensi musik jenis ini cenderung tidak melampaui dan melabrak realitas eksistensial dari sistem artistik yang sudah terbangun sebelumnya. Tindakan kreatif penciptaan karawitan bercorak tradisional oleh karena itu cenderung dilakukan oleh para komposer dengan dasar prinsip garap tradisional. Penerapan prinsip garap demikian menunjukkan bahwa komposer telah bergantung pada kesadaran kultural yang berorientasi pada konstruksi artistik masa lalu.
Refleksi perspektif filosofis penciptaan karawitan karya baru yang bercorak tradisional memiliki makna kembalinya diri eksistensi kultural pada objek artistik sebagai penanda jati diri budaya. Refleksi demikian juga dapat dipahami sebagai metode metafisik dalam mengembalikan spirit kebudayaan kepada hakikatnya yang terdalam, melalui abstraksi eksistensi. Penciptaan karawitan karya baru yang bercorak tradisional secara ontologis merefleksikan berpalingnya perhatian komposer dari objek-objek lain yang cenderung bersifat eksternal dilihat dari sisi konsistensi dan dedikasi komposer terhadap garap musikal yang bersifat konvensional. Refleksi seperti ini menunjukkan bahwa keteguhan komposer dalam mencipta karya karawitan dengan memilih genre seperti ini sebagai manifestasi konsep kesadaran eksistensialisme konvensional. Kesadaran demikian menunjuk pada kemampuan pencerapan, representasi, pikiran, perasaan, emosi, dan hasrat untuk melihat diri kultural dalam musik sebagai konsekuensi romantis atas kelebihan-kelebihan masa lalu sebagai objek pengetahuan yang perlu dipelihara dan dilestarikan jejaknya melalui kreativitas dalam penciptaan musik karawitan.
Karawitan karya baru yang bercorak populer selalu diwarnai dengan repertoar yang memiliki kandungan karakter kekayaan musikal yang telah menyebar dan terkenal di masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan massa (Sunarto, 1987: 18-22; Mack, 1995: 33). Repertoar itu di antaranya adalah karawitan karya baru dengan sub-corak repertoar (1) langgam, (2) ndangdut, dan (3) lagu-lagu populer. Repertoar karawitan karya baru dengan sub-corak langgam adalah repertoar yang memiliki kandungan bentuk dan elemen musikal sebagaimana bentuk langgam dalam musik keroncong. Perlu diketahui sebelumnya bahwa lagu-lagu musik keroncong pada umumnya memiliki bentuk yang dapat dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu; (1) lagu-lagu keroncong asli, (2) lagu-lagu langgam, dan (4) lagu-lagu bentuk lain yang berbeda strukturnya dari kedua jenis yang telah disebut itu. Repertoar karawitan karya baru dengan sub-corak ndangdut juga memiliki kandungan bentuk dan elemen musikal pada musik ndangdut. Repertoar dengan sub-corak lagu populer selalu diwarnai konstruksi musikal yang (1) menggunakan tangga nada diatonis, (2) penggarapannya menggunakan sistem musikal musik Barat, (3) terdapat akumulasi melodi yang bersifat homoponik.
Ciri-ciri karawitan karya baru jenis ini tidak dapat dipungkiri adalah tidak dapat dipisahkan dari penyebaran musik-musik populer terkait dengan publisitasnya di media massa elektronik, kaset, CD, atau VCD komersial. Ciri-ciri karawitan karya baru jenis itu juga terkait dengan kecenderungan penciptaan berdasar pertimbangan finansial dan komersial sehingga musikalitasnya mengarah pada entertainment. Berpijak dari kecenderungan itu, muncul pilihan-pilihan syair yang cenderung mengarah pada emosi-emosi dasar, dan penggunaan frase-frase molodis yang sederhana.
Sumber dasar penciptaan karawitan populer adalah bermacam entitas artistik yang terbawa oleh “berkah” teknologi dan industri dalam arti yang seluas-luasnya. Berbagai entitas itu dapat berupa (1) nilai dan tema-tema nilai kekinian, (2) realitas empiris musikal dari berbagai sumber, terutama dari genre musik populer seperti pop, ndangdut, dan rock yang di dalamnya selalu terkandung (3) sistem musikal tertentu, dan (4) sistem penyajian musikal. Karawitan demikian tentu masih selalu bertolak dari konvensi garap pembentuk gendhing tradisional. Oleh karena itu, karya-karya karawitan karya baru yang bercorak populer juga mengandung unsur-unsur konvensi garap sebagaimana karawitan tradisional, baik (1) bahan garapnya, maupun (2) perabot garapnya.
Bermacam entitas seperti dijelaskan di atas dipertimbangkan untuk dilibatkan dalam pembentukan konstruksi entitas musik baru. Pertimbangan itu dapat dipahami, karena hakikat karawitan jenis ini adalah manifestasi pemahaman lokal atas berbagai “sajian kultural yang telah maju” yang datang dari wilayah-wilayah filosofis, politis dan ekonomis dari suatu masyarakat yang secara bersungguh-sungguh mengedepankan konsumerisme. Penciptaan karawitan populer dengan demikian adalah hasil pendidikan alamiah atas “sajian kultural yang telah maju” terhadap pemikiran dan sikap tanggap lokal untuk menjadi konsumen agar memperoleh kelayakan status nilai disebut “modern”. Karya-karya karawitan jenis ini memiliki kandungan sumber mendasar yaitu asumsi para pencipta dan segenap para pengikut beserta pendukungnya bahwa untuk menjadi modern harus mengkonsumsi secara ideologis “sajian kultural yang telah maju” untuk ditelan ke dalam sajian kultural yang tradisional dan konvensional.
Sifat dasar karawitan jenis ini adalah mengeksplorasi, menyajikan, dan membangkitkan pengalaman romantis lapisan hidup urban yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip hidup hakiki, pada “kedalaman”, dan pada orientasi etik yang tertuju pada kepuasan rohani. Kecenderungan orientasi etiknya lebih tertuju pada kepuasan emosi dan ekonomi, tanpa perlu kritis pada nilai-nilai yang bersifat menguatkan entitas budaya.
Karawitan karya baru yang bercorak populer berbeda dengan karawitan baru bercorak tradisional yang cenderung tidak melampaui dan melabrak realitas eksistensial dari sistem artistik yang sudah terbangun sebelumnya, karena karawitan ini adalah sebaliknya. Karya karawitan jenis ini dibuat oleh para seniman karawitan yang benar-benar pengrawit, professional, semata-mata menggantungkan hidupnya dari karawitan, dan sungguh-sungguh semata-mata mengarahkan orientasi karawitan sebagai hiburan dalam maknanya yang tidak selalu sehat. Para pengrawit kreator karawitan jenis ini adalah pedagang, penjaja selera “modern” dalam artinya yang tunduk pada hegemoni “sajian kultural yang telah maju”. Mereka adalah para konsumeris nilai dan budaya musik, pedagang impian (merchant of dreams), yang tidak menginjakkan kakinya di kedalaman bumi budaya musik karawitan. Tindakan kreatif penciptaan karawitan bercorak populer cenderung memerhatikan realitas dan perilaku “pasar” yang tidak kondusif terhadap pengembangan nilai-nilai tradisional. Penerapan prinsip tindakan kreatif demikian menunjukkan bahwa komposer karawitan jenis ini sungguh-sungguh telah bergantung pada berbagai macam entitas yang dibawa oleh “berkah” teknologi dan industri untuk mencapai tingkatan nilai hidup tertentu. Mereka tidak lagi bergantung pada kesadaran kultural yang berorientasi pada konstruksi artistik masa lalu.
Hal menarik dari karawitan jenis ini adalah sifatnya yang bukan kontinum dari penguasaan, pengelolaan, dan penggunaan (1) bahan, (2) perabot, dan (3) sarana garap konvensional. Karawitan ini bukan merupakan kontinum melainkan kontradiksi dari karawitan tradisional. Kontinum adalah konsep tentang realitas, atau dimensi realitas yang tidak terpisah-pisah atau terpecah-pecah. Kontinum adalah manifestasi dari kontinuitas. Karawitan populer dalam hubungannya dengan karawitan tradisional, dilihat dari kecenderungan nilai, garap, dan konteks penyajiannya adalah terpisah, kalau bukan terpecah. Oleh karena itu, karawitan populer dan karawitan tradisional bukan merupakan kontinum budaya musik karawitan, tetapi realitas lain yang masuk dan eksis di dalam konsepsi budaya musik karawitan. Karawitan jenis ini adalah kontradiksi dari karawitan tradisional, karena pernyataan kebaruan artistik mana saja yang melekat pada karawitan jenis ini, dan diyakini benar oleh para pemeluknya dipandang tidak benar oleh para pemeluk karawitan tradisional.
Karawitan gagrag anyar adalah karawitan karya baru yang penciptaannya berdasar pada bentuk ekspresi musikal karawitan tradisional sebagai pijakan utamanya. Repertoar karawitan bercorak ini dapat dikatakan relatif sama dengan dengan repertoar pada karawitan tradisional. Namun ada perbedaan yang menonjol yaitu terletak pada penggarapan sekaligus wujud ekspresinya. Penciptaan dan penggarapannya dilakukan komposer dengan cara melakukan rekonstruksi dan reinterpretasi dari bentuk, struktur, dan garap dari repertoar karawitan yang telah ada. Penciptaannya cenderung berpijak pada pengembangan kreativitas melalui (1) perpaduan silang gaya musikal, (2) pengolahan tempo, irama, dan dinamika, serta (3) penambahan dan pengurangan variasi bentuk garap. Jadi karawitan gagrag anyar adalah karawitan baru hasil toleransi artistik atas kreativitas dan penyimpangan-penyimpangan garap yang dilakukan komposer terhadap karya-karya tradisional dari kebiasan kulturalnya.
Sumber dasar eksistensi karawitan jenis ini adalah perasaan para komposer untuk melakukan pembaharuan garap dan ekspresi karawitan dengan tetap mempertimbangkan entitas artistik yang berisi (1) bahan, (2) perabot, dan (3) sarana garap konvensional. Jadi, penciptaan karawitan gagrag anyar adalah kontemplasi pembaharuan dengan tetap bergantung pada rumusan prinsip-prinsip garap yang secara artistik telah diterima dan telah menjadi sistem ekspresi karawitan tradisional.
Fenomena empiris yang menunjuk karawitan gagrag anyar dapat terdiri dari beberapa ragam. Ragam pertama adalah karya yang bahan-bahannya berupa realitas artistik yang telah ada dalam karawitan tradisional, tetapi digarap dengan menggunakan perabot garap yang baru. Bahan-bahan itu dapat berupa gendhing, céngkok, maupun balungan gendhing yang telah ada, digarap dengan menggunakan teknik, pola, laya dan irama, laras, dan dinamika yang tidak lazim dari kebiasaannya dalam karawitan tradisional. Ragam kedua adalah karya-karya yang bahan-bahannya diambil dari karya-karya yang telah eksis dari tradisi musik lain, tetapi digarap dengan menggunakan perabot garap konvensional, yaitu perabot garap yang menjadi sistem ekspresi karawitan tradisional. Ragam ketiga adalah karya-karya yang secara konvensional telah ada dan memiliki kebiasaan ekspresi dengan menggunakan medium atau sarana garap tertentu, digarap ulang dengan menggunakan sarana garap lain yang membawa akibat perubahan perabot garap dari perabot garap semula. Jadi, ada tiga jenis karya karawitan gagrag anyar, yaitu karya yang dicipta berdasarkan (1) bahan garap konvensional diinterpretasi ulang menggunakan perabot garap inkonvensional, (2) bahan garap inkonvensional diinterpretasi menggunakan perabot garap konvensional, dan (3) bahan garap konvensional dan inkonvensional digarap dengan sarana garap konvensional.
Bentuk musikal yang dapat didengar dari karawitan jenis ini, menggambarkan adanya tahap perkembangan karakter yang berbeda dari karakter ekspresi musikal tahap sebelumnya, yaitu tahap tradisional. Karawitan jenis ini tidak eksis untuk kepentingan musik semata, melainkan juga untuk kepentingan genre seni lain, karena, karawitan jenis ini secara fungsi terdiri atas beberapa bentuk. Bentuk-bentuk itu diantaranya adalah gendhing klenengan (karawitan untuk keperluan konsert), gendhing beksan (karawitan untuk keperluan tari), dan gendhing pakeliran (karawitan untuk keperluan dunia pedalangan), seperti pada karawitan tradisional.
Sifat pemikiran, ide, atau gagasan yang digunakan sebagai dasar penciptaan karawitan jenis ini adalah hal yang penting, karena semua itu adalah kontinum dari penguasaan, pengelolaan, dan penggunaan (1) bahan, (2) perabot, dan (3) sarana garap konvensional dalam rangka melanjutkan budaya musik masa lalu ke dalam budaya musik masa kini. Karawitan jenis ini adalah kontinum tahap kedua dari karawitan tradisional. Kontinum tahap pertama yang terjadi pada karawitan karya baru yang bercorak tradisional tradisional adalah pertumbuhan karawitan dalam suatu proses transformasi dan inovasi budaya musik karawitan yang mempertahankan bentuk-bentuk artistik konvensional. Kontinum tahap kedua adalah pertumbuhan dan perkembangan konsepsi realitas artistik karawitan dalam suatu proses transformasi dan inovasi budaya musik karawitan yang mengelola secara lebih kreatif bahan, perabot, dan sarana garap konvensional.
b. Karawitan Kontemporer
Meski karawitan adalah musik, bukan berarti pengertian karawitan kontemporer dapat disamakan begitu saja dengan pengertian musik kontemporer. Musik kontemporer sebagai sebuah terminologi memiliki makna tersendiri, dan karawitan kontemporer juga demikian merupakan konsepsi berbeda dengan konsepsi musik kontemporer. Musik kontemporer dalam http://en.wikipedia.org/wiki/contemporary_classical_music adalah realitas eksistensial musik Barat yang berkembang sejak periode pertengahan tahun 1970-an yang berpijak dari faham modernisme yang muli berkembang sejak tahun 1945-an. Reginald menyatakan bahwa modernisme dalam musik ditandai oleh suatu keinginan atau kepercayaan pada ilmu, surrealism, anti-romanticism, general intellectualism yang mematahkan masa lalu yang sedang dalam proses perkembangan (1987: 57).
Dalam pandangan Reginald, musik kontemporer yang ditandai oleh keinginan ekspresi yang surealistis mengindikasikan bahwa musik dalam perspektif ini adalah manifestasi dari suatu gerakan kebudayaan yang ciri utamanya mengutamakan elemen kejut (the element of surprise), pemanfaatan elemen-elemen yang tak terduga (unexpected juxtapositions), dan karya-karya musik kontemporer sering mengekspresikan gerakan filosofis tertentu.
Karawitan kontemporer meski realitas materialnya berbeda dengan musik kontemporer, namun sesungguhnya realitas ontologis yang terkait dengan perspektif penciptaannya memiliki kesamaan dengan ontologi musik kontemporer. Artinya karawitan kontemporer memiliki ciri yang mengutamakan elemen kejut (the element of surprise) tertentu, memiliki kndungan elemen-elemen yang tak terduga (unexpected juxtapositions), dan memnifestsikan pemikiran filosofis tertentu.
Karakter yang mengemuka pada karawitan kontemporer bukan wataknya yang konvensional, interpretatif, dan tradisional, melainkan sifat avant-garde yang menonjol dan kuat. Sifat avant-garde yang eksis pada karawitan kontemporer ditandai dengan kinerja artistik “an intelligentsia that develops new”, yaitu kinerja artistik kaum intelektual yang mengembangkan bentuk-bentuk artistik baru (Mish, 2003: 85). Dalam pengembangannya, para intelektual yang mengembangkan bentuk-bentuk artistik baru itu bekerja dengan didasari oleh perspektif artistik atau paradigma artistik tertentu, didasari oleh kerangka filosofis dan kerangka teoretis pola-pola artistik tertentu, sehingga di balik wujud karya terkandung suatu disiplin di mana keyakinan dasar, nilai-nilai, kehendak berkarya, model, konsep, metode pengembangan konsep, metode penerapan konsep, yang berperan dalam pembentukan karya seni eksis berdasarkan formulasi eksperimen.
Karawitan kontemporer secara umum dapat dipahami sebagai karya seni yang dikembangkan oleh para seniman intekektual terdidik, menggunakan konsep-konsep dan atau cara-cara baru, menggunakan materi garap baru, sarana garap baru, dan perabot garap baru. Terkait dengan pengembangan konsep, karya-karya karawitan kontemporer hadir dalam dua dari tiga ciri eksistensial, yaitu; (1) karakter musikal mengutamakan eksistensi konsep dari pada kehadiran karya seni sebagai wujud ekspresi; (2) karakter musikal mengutamakan eksistensi musik sebagai wujud ekspresi, sehingga orientasi artistik ditekankan pada kemantapan “bobot” wujud karya seni; (3) keduanya selalu berpijak dari pengalaman personal para komposernya yang bersifat tipikal, bukan pengalaman kultural yang bersifat komunal.
Setiap karya karawitan kontemporer secara eksistensial selalu berada dalam kondisi salah satu dari dua ciri eksistensial yang pertama dan kedua. Ciri eksistensial yang ketiga selalu hadir dalam setiap karya karawitan kontemporer. Berarti, konsep dan ide serta pengalaman personal menjadi unsur yang sangat dominan, yang menentukan bagaimana wujud medium dan konstruksi musikal karawitan kontemporer hadir secara empiris.
Istilah karawitan kontemporer bukan semata-mata istilah yang digunakan untuk menandai fenomena perkembangan karawitan di masa-masa mutakhir kehidupan karawitan. Istilah itu bukan pula bermakna sebagai penanda akan adanya pertumbuhan dan pergerakan pembaharuan karawitan, apalagi sekedar merujuk pada gaya-gaya personal di luar mainstream tradisional dalam kaitannya dengan isu-isu intercultural yang eksis secara fenomenal. Lebih dari itu, karawitan kontemporer adalah; (1) Karawitan yang eksistensinya kuat oleh konsep-konsep yang merepresentasikan kesungguhan komposer dalam membuat karakter komposisi musik yang berpengaruh pada intelektualitas, kejiwaan dan impresi penghayatan yang subtil; (2) Karawitan yang mendemonstrasikan vokabuler-vokabuler artistik sebagai “bahasa ekspresi” musikal yang eksis dengan sifat yang progresif karena komposer secara sadar dan sengaja melepaskan “bahasa ekspresi” yang erat ikatannya dengan kaidah-kaidah dan budaya musik tradisional; (3) Karawitan dengan musikalitas yang dibentuk berdasarkan konsep-konsep, cara-cara, teknik-teknik, materi garap, sarana garap, dan perabot garap baru secara avant-garde tak terhingga jumlah kemungkinan eksistensialnya. Pemikiran teknis yang ditawarkan bukan merupakan suatu upaya agar hasil yang diperoleh dapat atau mudah laku dijual.
Karawitan kontemporer adalah karawitan yang pengembangannya melesat meninggalkan konvensi-konvensi tradisional. Pengembangan karawitan kontemporer membentuk kemungkinan model artistik yang tak terbayangkan ada dalam khasanah tradisional. Model artistik yang dibangun mengandung semangat kreatif untuk mewujudkan sistem musik yang berupa sistem komposisi dengan bentuk yang terbuka (the open-form system of composition) terhadap arah, kecenderungan, dan orientasi nilai artistik secara liberal.
Sumber dasar eksistensi karawitan jenis ini adalah keinginan para komposer untuk melakukan pembaharuan musikal yang mencerminkan semangat intelektual dalam mengolah entitas artistik. Pengolahan entitas artistik itu bermula dari; (1) bahan garap konvensional, diolah dengan perabot dan sarana garap inkonvensional; (2) perabot garap konvensional diolah dengan menggunakan bahan dan sarana garap inkonvensional; (3) sarana garap konvensional diolah dengan menggunakan bahan dan perabot garap inkonvensional; atau yang paling ekstrim adalah penggarapan yang bermula dari (4) bahan, perabot dan sarana garap inkonvensional, diolah dengan menggunakan metode-metode yang sifatnya inkonvensional. Pada prinsipnya, dasar penciptaan karawitan baru yang bercorak kontemporer adalah kontemplasi dan aksi penjelajahan estetika pembaharuan tanpa secara mutlak bergantung pada rumusan prinsip-prinsip garap artistik yang telah ada dan yang diterima, melainkan bergantung sepenuhnya pada paradigma baru yang diyakini komposer yaitu konsep penciptaan yang bersifat kontemporer.
Karawitan karya baru yang bercorak kontemporer adalah kontinum tahap ketiga atau puncak kontinum dari usaha para komposer karawitan untuk menghidupkan nilai dan potensi artistik karawitan tradisional dengan menggunakan pendekatan yang bersifat inkonvensional. Karawitan jenis ini dalam pendekatannya juga memanfaatkan entitas artistik yang terbawa oleh “berkah” teknologi dan industri dalam arti yang seluas-luasnya, tetapi tidak dalam rangka pengembangan pemahaman lokal atas berbagai “sajian kultural yang telah maju” yang datang dari wilayah-wilayah filosofis, politis dan ekonomis dari suatu masyarakat yang mengedepankan konsumerisme. Pendekatan karawitan jenis ini justru cenderung diorientasikan kepada pengembangan dan pemahaman musik dalam konstelasi global atas entitas-entitas artistik lokal, yang secara filosofis dan ekonomis tidak menjanjikan kepuasan material bagi para komponis dan pihak-pihak yang terlibat, tetapi kepuasan immaterial yang bersumber pada kedalaman nilai-nilai yang diyakini kebaikan dan kebenarannya. Oleh karena itu, berbagai entitas berupa (1) nilai dan tema-tema nilai masa lalu, (2) realitas empiris musikal dari berbagai sumber (terutama musik-musik dunia yang tidak mengedepankan ekonomisme kreativitas dunia musik), yang di dalamnya selalu terkandung (3) sistem musikal tertentu, dan (4) sistem penyajian musikal, sering secara ontologis menjadi sumber dan sifat dari karawitan karya baru yang bercorak kontemporer. Karawitan jenis ini selalu bertolak dari dimensi garap yang sangat luas, baik dimensi garap yang bersifat konvensional maupun yang inkonvensional. Karya-karya karawitan karya baru yang bercorak kontemporer selalu mengandung (1) bahan garap, (2) perabot garap, dan (3) sarana garap yang tidak terbatas, baik sumber maupun strategi pengelolaannya.
4. Kesimpulan
Pada hakikatnya, di dalam karawitan Indonesia hanya terdapat dua genre musikal yang kasat indera, yaitu genre (1) karawitan tradisional dan genre (2) karawitan karya baru. Genre karawitan tradisional memiliki wujud komposisi musikal dengan bentuk, struktur, dan garap bersifat konvensional. Komposisi musikal karawitan tradisional yang disebut gendhing merupakan warisan masa lalu yang tidak diketahui kapan dicipta dan siapa penciptanya. Karawitan ini menjadi dasar bagi seluruh perkembangan kehidupan karawitan karya baru. Genre musikal yang lain dalam karawitan adalah hasil usaha para seniman karawitan dalam pengembangan karawitan, yaitu karawitan karya baru. Jenis karawitan karya baru ini terdiri dari dua corak utama, yaitu (2.a) karawitan karya baru bercorak tradisional dan (2.b) karawitan kontemporer.
Karawitan karya baru bercorak tradisional terdiri dari (2.a.1) karawitan klasik gagrag anyar, (2.a.2) karawitan popular, dan (2.a.3) karawitan gagrag anyar. Karawitan karya baru bercorak tradisional adalah karya-karya karawitan hasil kreasi atau ciptaan baru, dan wujudnya merupakan manivestasi konvensional garap pembentuk gendhing tradisional. Unsur-unsur konvensional garap pembentuk gendhing tradisional meliputi (a) bahan garap, (b) perabot garap, (c) sarana garap, (d) pertimbangan garap, dan (e) penunjang garap. Karawitan klasik gagrag anyar adalah karya baru yang rancang bangun estetiknya didasarkan pada perumusan balungan gendhing secara konvensional, dengan tata kelola dan permainan instrumen kolotomik atau instrumen struktural sepenuhnya mengikuti tradisi tata kelola musikal seperti dalam karawitan tradisional. Pengelolaan gradasi irama dan tempo yang digunakan juga sepenuhnya menggunakan model karawitan tradisional sebagai acuan proses penciptaannya. Karawitan bercorak populer adalah karya-karya karawitan yang memiliki kandungan karakter kekayaan musikal yang bersumber dari kebudayaan massa. Karawitan gagrag anyar adalah karawitan baru hasil toleransi artistik atas kreativitas dan penyimpangan garap yang dilakukan komposer terhadap karya-karya tradisional dari kebiasan kulturalnya. Kreativitas dan penyimpangan garap terjadi karena rekonstruksi dan reinterpretasi dari bentuk, struktur, dan garap dari repertoar karawitan yang telah ada, melalui (a) perpaduan silang gaya musikal, (b pengolahan tempo, irama, dan dinamika, serta (c penambahan dan pengurangan variasi bentuk garap.
Genre musikal terakhir adalah karawitan kontemporer, yaitu karya karawitan baru yang memiliki ciri (1) mengutamakan elemen kejut (the element of surprise) tertentu, (2) memiliki kandungan elemen-elemen yang tak terduga (unexpected juxtapositions), dan (3) memanifestasikan pemikiran filosofis tertentu. Ciri lain adalah dikembangkan oleh para seniman intekektual terdidik, menggunakan sekurang-kurangnya salah satu atau beberapa dari unsur-unsur baru, yaitu konsep baru, cara baru, materi garap baru, sarana garap baru, dan perabot garap baru. Dalam hal konsep, karawitan kontemporer hadir dalam dua dari tiga ciri eksistensial, yaitu; (1) karakter musikal mengutamakan eksistensi konsep dari pada kehadiran karya seni sebagai wujud ekspresi; (2) karakter musikal mengutamakan eksistensi musik sebagai wujud ekspresi, sehingga orientasi artistik ditekankan pada kemantapan “bobot” wujud karya seni; (3) keduanya selalu berpijak dari pengalaman personal para komposernya yang bersifat tipikal, bukan pengalaman kultural yang bersifat komunal. Oleh karena itu, eksistensi faktual dari karawitan kontemporer adalah; (1) konsep-konsepnya mempresentasikan kesungguhan komposer dalam membuat karakter komposisi yang intelektualistis, menstimulasi penghayatan yang subtil; (2) mendemonstrasikan vokabuler-vokabuler artistik yang terlepas dari “bahasa ekspresi” tradisional; (3) musikalitas dibentuk secara avant-garde berdasar konsep, cara, teknik, materi garap, sarana garap, dan perabot garap yang derajat kebaruannya tak terhingga jumlah kemungkinan eksistensialnya.
5. Bibliografi
Ferdinandus, P. E. J. 2001. Alat Musik Jawa Kuno: Kajian Bentuk dan Fungsi Ansambel Abad IX-XV Masehi. Yayasan Mahardhika. Yogyakarta.
Haryono, T. 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Philosophy Press. Yogyakarta.
Haryono, T. 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. ISI Press Solo. Surakarta.
Mack, D. 1995. Apresiasi Musik Populer. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Mish, F. C. 2003. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary. Edisi ke-11. Merriam-Webster, Incorporated. Springfield.
Natapradja, I. 2003. Sekar Gendhing. PT. Karya Cipta Lestari. Bandung.
Poplawska, M. 2007. Christian Music and Inculturasi in Indonesia. Disertasi Ph.D. Wesleyan University. Middletown, CT.
Reginald, S.B. 1987. The New Music: The Avant-garde Since 1945. Second Edition. Oxford University Press. New York.
Sasaki, M. 2007. Laras Pada Karawitan Sunda. P4ST UPI. Bandung.
Soetrisno, R. 1976. Sejarah Karawitan. Akademi Seni Karawitan Indonesia. Surakarta.
Sopandi, C. 2006. Gamelan Selap: Kajian Inovasi Pada Karawitan Wayang Golek Purwa. Tesis S-2. Program Studi Pengkajian Seni. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Sukerta, P. M. 2004. Perubahan dan Keberlanjutan Dalam Tradisi Gong Kebyar: Studi Tentang Gong Kebyar Buleleng. Disertasi S-3 Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Sumarsam. 2002 Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif. STSI Pers. Surakarta.
Sunarto, B. 1987. “Kehidupan Karawitan di Tengah Kebudayaan Massa”. Makalah untuk Diskusi Mahasiswa ASKI Surakarta.
Sunarto, B. 2006. Sholawat Campurngaji: Musikalitas, Pertunjukan, dan Maknanya. Tesis S2. ISI Surakarta.
Sunarto, B. 2010. Epistemologi Karawitan Kontemporer Aloysius Suwardi. Disertasi. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Supanggah, R. 1983. “Pokok-Pokok Pikiran tentang Garap”, paper yang dipresentasikan dalam diskusi pengajar dan mahasiswa Jurusan Karawitan ASKI Surakarta. ASKI. Surakarta.
Supanggah, R. 1990. “Balungan”, dalam Seni Pertunjukan Indonesia, Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, I/1: 115-136.
Supanggah, R. 1994. “Gatra: Inti dari Konsep Gendhing Tradisi Jawa” dalam Jurnal Wiled, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI ) Surakarta, I/1: 13-26.
Supanggah, R. 2000. “Gatra: Konsep Dasar Gendhing Tradisi Jawa”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Karawitan Program Studi S-1 Seni Karawitan STSI Surakarta. DUE-Like Program of STSI Surakarta. Surakarta.
Supanggah, R. 2002. Bothekan Karawitan I. Ford Foundation & Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta.
Supanggah, R. 2005. “Garap: Salah Satu Konsep Pendekatan/Kajian Musik Nusantara” dalam Menimbang Pendekatan Pengkajian & Penciptaan Musik Nusantara. Jurusan Karawitan STSI Surakarta. Surakarta.
Supanggah, R. 2007. Bothekan Karawitan II: Garap. ISI Press Surakarta. Surakarta.
Supanggah, R. 2009. Bothekan Karawitan II: Garap. Edisi Revisi. Program Pascasarjana bekerjasama dengan ISI Press Surakarta. Surakarta.
Widodo, T. S . , 1997. Belajar Menyanyi dengan Not Balok. Dua Jilid. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Yasa, I. K. 1991. Gendhing-gendhing Dalam Upacara Memungkah di Pura Dadia Agung Pasek Bendesa Tonja. Laporan Penelitian. Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.
Yasa, I. K. 2000. Semar Pagulingan Sekaa Tirtasari Peliatan di Tengah Kepopuleran Gong Kebyar. Tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar